Nico dan Ribkah berjumpa di Kampus Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Waktu itu Ribkah sudah berada pada tingkat terakhir program Sarjana Mudanya di Fakultas Hukum, sementara Nico adalah salah seorang dosen di perguruan tinggi itu yang baru saja kembali ke Salatiga sesudah menyelesaikan studi lanjutnya dalam bidang Antropologi di Cornell University, Amerika Serikat.
Saat mereka berkenalan adalah saat- saat sesudah peristiwa G 30 S tercetus. Jadi banyak waktu tanpa kuliah di kampus diisi oleh mereka dengan acara-acara mereka sendiri. Waktu yang tersedia itu memberi cukup kesempatan bagi keduanya untuk saling mengenal dan bersama lebih intensif untuk tanpa ragu-ragu membuat keputusan penting untuk membentuk bahtera hidup.
Rupanya tak ada yang bisa menahan cinta antara dua orang, juga tidak perbedaan sukubangsa. Setahun sesudah masa itu mereka bertunangan (20 Agustus 1966) dan menyusul menikah setahun berikutnya (19 Agustus 1967); kedua peristiwa itu berlangsung di Semarang, tempat tinggal orang tua Ribkah.
Keluarga ini dikarunia tiga anak, seorang laki-laki dan dua orang perempuan; Kiho, Arum dan Rini. Tanggal 3 Mei 1996 Kiho mempersunting Tiwid di Semarang, dan tanggal 19 Nopember 1993 Arum dipersunting Robbin di Salatiga.
Bagi Opa Hire belum lahir buyut baik dalam keluarga Kiho dan Tiwid maupun dalam keluarga Robbin dan Arum.
Anak-anak dan para menantu Ribkah & Nico semuanya telah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi dalam berbagai bidang studi. Kiho menyelesaikan studi Hubungan Internasionalnya di UGM, Yogya, Tiwid dalam bidang Ekonomi Manajemen di UKSW Salatiga. Arum di bidang Arsitektur di ITB, Bandung, Robbin dalam studi Ilmu Pemerintahan & Pembangunan di Universitas Twente, Enschede, dan Rini dalam bidang Ekonomi Manajemen di UKSW Salatiga.
Dari segi pekerjaan yang ditekuni, maka Nico dan Ribkah masih menjalankan pekerjaan yang sama coraknya dengan pekerjaan yang dulu Papa tekuni, yaitu guru. Nico melewatkan sebagian besar waktunya sebagai dosen di UKSW Salatiga. Ribkah guru di SMP Laboratorium UKSW, Salatiga.
Sebelumnya Ribkah pernah bekerja sebagai pustakawati, dan guru di sebuah SMEA di kota sejuk Salatiga. Sementara itu anak-anak dan menantu mereka tidak lagi berkecimpung dalam jenis profesi seperti profesi orangtuanya. Tentu hal itu amat dipengaruhi oleh jenis pendidikan yang telah ditempuh.
Kalau generasi Nico dan Ribkah cenderung menetap relatif lama dalam profesi yang dimasuki semula, maka anak-anak mereka mencerminkan dinamika pola cari kerja masa kini yaitu mengawalinya dengan berpindah kerja sampai menemukan jenis pekerjaan atau bidang profesi yang dianggap makin sesuai bagi masing-masing. Kiho kini bekerja di sebuah bank swasta nasional, sementara Rini di sebuah bank asing.
Arum bekerja di sebuah Biro Arsitek, dan Robbin menjadi dosen universitas. Sebelum menekuni pekerjaannya kini sejak 1993 Kiho berpindah-pindah kerja dari bidang bursa valuta asing lalu ke perusahaan otomotif, dan jenis pekerjan-pekerjaan lainnya. Tiwid, isteri Kiho, lain prosesnya; ia langsung diterima dalam bidang kerja yang kini ditekuninya, yaitu di sebuah bank asing, begitu selesai studinya.
Arum setelah mengambil kursus Bahasa Belanda memberanikan diri melamar kerja praktek pada Biro Arsitek I/AA+ (Ingenieurs/Architekten Associatie). Kerja praktek tersebut berlangsung selama Januari sampai dengan Juli 1995. Dan sejak Agustus 1995 Arum diterima sebagai salah seorang staf pada biro tersebut. Ditengah-tengah makin kerasnya persaingan untuk mendapat pekerjaan di Belanda, Robbin justru ditawari oleh almamaterrya untuk menjadi dosen segera sesudah lulus.
Sementara Rini sebelum menerima pekeraan di sebuah bank asing sejak Nopember 1995,begitu lulus dari perguruan tinggi mencoba bekeija di ibukota negarupada sebuah hotel berbintang lima, Holiday Inn Hotel, yang baru dibuka. Bekerja di hotel sudah menjadi minatnya sejak masih di SMA. Namun lain cita-citanya selagi SMA itu lain pula pengalaman nyatanya sesudah merasakan sendiri bekerja. Shift yang bisa menyita hari-hari istirahat Sabtu dan terutama Minggu telah mendorong Rini memutuskan untuk menghentikan kelanjutannya bekerja di hotel itu.
Kini anggota-anggota keluarga Ribkah dan Nico tinggal cukup berjarak satu dari yang lainnya. Nico dan Ribkah cukup lama tinggal di
Salatiga, sebuah kota yang tidak jauh letaknya dan kota-kota tempat tinggal sanak saudara mereka di Jawa (Semarang, Solo, Yogyakarta).
Kiho dan Tiwid tinggal di Jakarta sejak 1990 an. Robbin dan Arum bermukim di Enschede sejak tahun 1994. Rini sejak Juni 1996 menempati kamar pondokannya di Semarang, meski tiap akhir minggu menengok rumah di Salatiga sementara Ribkah dan Nico berada di Bogor sepanjang Juni-Agustus 1996.
Ribkah dan Nico selanjutnya pindah ke Yogyakarta sejak September 1996. Meskipun begitu berkat tersedianya fasilitas telkom, komunikasi yang mengobati rasa kangen dan rindu dapat diwujudkan antara mereka. Ribkah dan Nico tetap membagi sebahagian waktunya kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Tentu hal itu bukan saja memberikan pelayanan kepada pihak lain tetapi juga juga turut memperkaya perkembangan diri mereka.
Ribkah aktif dalam berbagai kegiatan gercja, baik sebagai anggota majelis jemaal, anggota persekutuan wanita jemaat, maupun kegiatan dalam paduan suara, dan selain itu juga untuk kegiatan-kegiatan dilingkungan permukiman tempat tinggalnya di Salatiga. Sedangkan Nico selain berkecimpung dalam tugas-tugas kemasyarakatan nasional dalam kaitan dengan tugas yang dibebankan negara ataupun gereja, juga
melayani gereja GKJ pada aras sinodal. Ia juga berkali-kali terlibat dalam kegiatan pelatihan ketrampilan berkenaan dengan upaya pengembangan masyarakat yang diprakarsai gereja ataupun organisasi LPSM dan LSM di berbagai tempat di tanah air.
Di Salatiga, di tempat permukiman mereka, sebagai penghuni pertama di kompleks itu Nico diminta oleh warga-warga lainnya untuk menjadi Ketua RT pertama selama tiga tahun awal usia permukiman itu. Banyak pengalaman telah menjadi bahagian dari sejarah hidup
keluarga ini, semuanya membawa makna khusus. Memang tidak semua dapat dan perlu dibagi dengan pihak lain. Namun, adapula yang berguna rasanya diceritakan. Salah satunya adalah yang diutarakan di bawah ini, karena cukup berkesan bagi mereka.
Dalam menempuh masa tahun 1995-1996 dialami peristiwa-peristiwa yang mendorong untuk direnungkan, Salah satunya adalah apa yang dialami dalam pekerjaan pada waktu muncul dua pandangan yang saling bertentangan yaitu satu pihak yang mempertahankan idealisme
sebagai pemelihara yang setia keadilan dan kejujuran dan pihak lain yang berupaya meninggalkan idealisme untuk memanfaatkan peluang
bercorak kapitalistik dan pragmatis. Kekuatan yang tidak setia kepada idealisme itu dengan memanfaatkan kekuatan formal dan menerapkan cara-cara otoriter dengan dukung an eksternal telah berhasil memperoleh hegemoni.
Akibatnya, pihak yang setia kepada nilai-nilai ideal memutuskan untuk mengakhiri konflik berkepanjangan. Aneka tekanan dialami dalam
masa penuh konflik. Dalam situasi tatkala dari segi manusia orang-orang yang dinilai tersingkir oleh kekuatan hegemonik itu
justru mengalami wujud kekuatan Tuhan secara nyatadan menakjubkan. Di tengah suasana seperti yang terjadi Nico jatuh sakit dan harus dirawat di Yogyakarta dan Jakarta, sement ara danauntuk mendukung perawatan tidak tersedia. Namun menjelang keluar dari rumah sakit, pertolongan Tuhan datang lewat teman-teman. Tangan Tuhan yang murah tidak hanya berhenti sampai di situ. Sekeluar dari perawatan, belum tersedia tempat dan kegiatan untuk bekerja. Sekali lagi ruhan menunjukkan jalanNya, jalan yang berada di luar usaha dan kemampuan sendiri. Tawaran-tawaran kegiatan insidental mengisi masa awal pasca-rawat sampai tiba bulan Januari 1996, tatkala datang tawaran kerja via telepon dari badan internasional. Semua itu di luar usaha sendiri.
Pengalaman itu menunjukkan dengan gamblang bahwa Tuhan melanjutkan karyaNya lewat anak-anak yang setia kepadaNya; dan untuk itu Ia menciptakan jalan untuk anak-anakNya. Semua itu mengingatkan pada salah satu bait dari lagu ciptaan Annie Johnson Flint yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut:
“Dia memberi banyak anugerah tatkala beban makin bertambah, Dia mencurahkan banyak kekuatan tatkala pekerjaan bertambah Untuk derita yang bertambah Dia menambahkan kemurahan, Untuk pencobaan yang berlipat ganda Dia melipat- gandakan kedamaian”
Memang Tuhan Pengasih memberi lindungan pada saat yang tepat, sehingga keluarga ini tetap untuh dalam tangan bimbingan-Nya. walaupun badai menerpa.-